Cari dengan google

Tuesday, March 22, 2011

KUPU – KUPU STASIUN CAWANG


Stasiun Cawang, 9:25pm

Aku berdiri di barisan paling kiri, di platform penumpang yang mengarah ke Bogor, menunggu keretaku tiba, hanya berjarak beberapa langkah dari 2 petugas pemeriksa tiket dipinggir gerbang menuju platform. Sengaja aku berdiri disitu sehingga aku bisa memperoleh gerbong nomor 2 atau 3 dari barisan depan rangkaian kereta, dengan demikian aku pun bisa turun di stasiun tujuan dengan lebih cepat menuju pintu keluar. Berharap malam itu penumpang sudah tidak terlalu padat, sehingga aku tidak perlu berjejalan masuk memasuki gerbong barisan depan, barisan gerbong yang menjadi andalan bagi sebagian besar penumpang.

Untuk yang satu ini, kami semua memiliki pemikiran yang sama, satu arah dan satu tujuan dan akan berakhir dengan satu tindakan untuk 30 menit kedepan, hanya jika perkiraanku tidak meleset. Aku menyandarkan punggungku ke palang besi pembatas dibelakangku. Tidak terlalu nyaman sebenarnya tapi ruang loket di depanku tampak jelas terlihat dengan aku bersandar disini, sehingga aku dengan mudah bisa memperhatikan orang-orang yang datang mengantri membeli karcis dengan mimik yang berbeda-beda. Aku sangat suka dengan kegiatan ini, seperti membaca sebuah lembaran komik yang terbuka lebar hanya dengan memperhatikan mimik-mimik mereka, dan komik-komik itu benar-benar menghiburku walaupun kisahnya kadang-kadang membingungkan bahkan seringkali menjebak. Tapi tak apalah, karena jika aku hanya memikirkan betapa melelahkannya malam ini, rasanya seperti menanti sesuatu yang tidak akan pernah datang, hingga aku berkarat dan bodoh, apalagi malam ini bukan lelah yang biasa aku rasakan, karena beberapa jam yang lalu, keringatku dikuras habis-habisan olehnya, hingga aku lelah tak berdaya, dan sangat-sangat lapar. Sebenarnya aku sudah agak terbiasa dengan hal seperti ini, aku mampu menahan gairah sang perut ini sampai akhirnya nanti aku tiba dirumah, dan kemudian makan dengan lahapnya seperti tidak ada hari esok. Cara yang salah kalau kata teman-temanku, tapi hukum itu tidak berlaku dan menjadi tidak penting manakala perut sudah tidak bisa lagi bekerjasama dengan otak, dan manakala mata sudah bersekutu dengan hidung.

Aku melirik jam tanganku… untuk kesekian kalinya, “hmmm 9.55 jek! Jangan telat banget donk keretaku sayang” ujarku dalam hati, sambil tetap mengarahkan pandangan santaiku kearah loket, memandangi antrian pembeli karcis, menikmati wajah-wajah kelelahan mereka dan dengan obrolan-obrolan ringan yang hanya sayup-sayup aku dengar, sampai akhirnya aku teringat sesuatu, aku membuka tas ranselku yang padat dan kemudian mengambil buku yang tersimpan disana. Sebenarnya aku sangat berharap malam ini aku bisa menghabiskan beberapa paragraf terakhir beliau (Pearl S Bucks) yang sedang aku tuntaskan. Hanya tinggal beberapa puluh halaman lagi pikirku. Buku terakhir yang menceritakan sejarah keluarga Wang dan keturunannya. Aku tidak terlalu cinta dengan fiksi semacam ini, mungkin fokus kepada keturunan terakhir ini yang membuat aku sangat-sangat bernafsu ingin mengetahui seperti apa cerita keturunan si Wang ini pada akhirnya. Cerita sebuah keluarga yang amat mencintai tanah air dan budanyanya, jatuh hati dengan tanah yang subur yang membuat mereka sukses dan dihormati, melahirkan beberapa keturunan yang salah satunya menjadi panglima perang paling disegani pada zamannya, dan kemudian melahirkan lagi beberapa keturunan yang entah… akan kembali jatuh hati kepada tanahnya.. atau tidak, aku belum menyelesaikannya kawan. Aku ingin menebak, tapi rasanya kurang menarik untuk aku perdulikan saat ini. Akhirnya aku memutuskan untuk membacanya dengan tanpa beban, mengingat drama pengantri karcis sudah mulai sedikit membosankan.

Tak beberapa lama kemudian aku kembali melirik ke jam tanganku, sudah mendekati jam 10.15 malam, rasanya kali ini moodku sudah sedikit terganggu. Lima belas menit yang lalu harusnya kereta sudah membawaku pulang. Raut wajahkupun sudah sedikit mulai berubah, mungkin karena desakan dari perut ini yang memaksa aku untuk berbuat sesuatu, karena selain perkara yang satu ini, aku termasuk orang yang sangat-sangat toleran. Aku sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi denganku, 15 menit sudah tidak bisa lagi masuk dalam hitungan toleransiku, aku berusaha keras untuk tidak membeberkan kisahku sendiri di depan kumpulan orang-orang yang berdiri disekitarku, lembaran komik yang mungkin akan terbuka lebar jika aku gagal menahan fokusku, lembaran komik yang mungkin dinanti oleh mereka, yang menginginkan hal yang sama seperti apa yang telah aku baca tentang mereka, tapi aku berusaha keras untuk menahan diri, karena tidak seperti ini seharusnya bagiku, bukan seperti ini jalan cerita yang aku inginkan, aku sang sutradara, aku sang penikmat cerita dan bukan sebaliknya. Aku berusaha semakin keras, semakin menahan, hingga beberapa saat kemudian kutangkap kembali fokusku yang beberapa saat sebelumnya mencoba untuk membebaskan dirinya dari genggamanku, aku berhasil, kisahku tidak terungkap dan tetap menjadi misteri, terkubur untuk kunikmati sendiri.

Aku kembali melirik kearah loket didepanku, masih ada beberapa penumpang yang khawatir kalau-kalau tertinggal kereta dan mereka mulai terbirit-birit menuju loket tapi begitu tiket terbeli, ternyata kereta belum tercium sama sekali. Beberapa ada yang mengurut-urut dada, lega karena tidak tertinggal jadwal pemberangkatan yang mereka inginkan. Tidak lama kemudian, pengeras suara stasiun mengumumkan bahwa kereta tertahan di stasiun Manggarai, menunggu kereta malam melintas. Pengumuman yang sia-sia pikirku, namun setidaknya segalanya sudah menjadi lebih jelas sakarang, dan tidak perlu lagi mereka-reka dengan penuh ketidakpastian. Memang jauh lebih baik berbicara apa adanya, daripada bersikap tidak terbuka dan menggiring kita menuju ketidakpastian. Ingin rasanya mendekati petugas pemeriksa karcis yang berdiri hanya beberapa langkah dari tempat aku bersandar dan mengungkapkan keluhanku, tapi ternyata keinginan itu tidak jauh lebih menarik dari apa yang sedang aku lihat didepanku, sesaat kemudian.

Diantara salah satu pengantri di loket, tiba-tiba ada yang cukup menarik perhatianku, hingga aku rela melipat halaman dari buku yang aku baca dan menutup buku yang sedang kucoba tuntaskan. Perempuan itu tersenyum, bukan kearahku, tapi tersenyum untuk dirinya sendiri, sambil sesekali menarik nafas, sangat dimengerti karena terburu-buru menuruni tangga dan bergegas karena jika telat beberapa menit saja, dia harus menunggu kereta terakhir, 1 jam berikutnya. Dia kelelahan, tapi tampak semangat dan lega seperti yang lain karena ternyata kereta mengalami keterlambatan (Sempat aku memperkirakan bahwa kereta akan telat sekitar 10 menit. Perkiraanku meleset). Tidak lama aku memperhatikan dia, aku bergegas memperhatikan kalau-kalau ada orang-orang lain yang juga memperhatikan dia, mungkin dengan cara yang berbeda. Dan tebakanku tidak meleset.

Dasi kupu-kupu yang dikenakannya cukup besar, aku tidak ingin mengira-ngira berapa sentimeter panjangnya dari ujung kanan ke kiri, dan akupun tidak tertarik dengan itu. Warnanya merah menyala dan cukup lebar pada kedua ujungnya dengan sedikit lekukan-lekukan yang tidak teratur, tidak ada hiasan-hiasan lain yang menyertainya, hanya dasi kupu-kupu itu saja, bertengger dengan kuatnya, kokoh dan tak terguncangkan. Aku berasumsi bahwa pusat perhatian pertama adalah dasi kupu-kupu merah tersebut, dan kemudian akan menggiring kami untuk melihat ke wajah perempuan tersebut. Hmm..sepertinya asumsiku kali ini pun tidak dapat disangkal. Tepat pada sasaran.

Tingginya kira-kira 165cm, mungkin sekitar 25 tahun umurnya, posturnya ideal, padat namun tidak termasuk gemuk menurutku, dan pun tidak seperti orang kelaparan (kurus). Kulitnya putih, dan malam itu dia tampil polos tanpa make up, berlipstik tipis pun tidak, yang ada pada dirinya tampak asli malam itu, penuh energi dan tampak seperti sosok perempuan yang mencintai kebebasan. Wajahnya manis tapi menurutku tidak terlalu cantik, “gue ga berlebihan kan?” ujarku kembali dalam hati. Rambutnya cukup tebal, hitam dan lurus mendekati bahu. Mengenakan celana jeans yang menyempit dibagian kaki dan body fit t-shirt warna kuning, polos dan tidak bercorak sama sekali. Yang membuatku tertarik untuk terus memperhatikan dia adalah karena dia gadis yang murah senyum. Dia tersenyum tulus ketika membeli karcis, tersenyum tulus ketika menyebrangi sepasang rel, tersenyum tulus ketika menunjukan tiket kepada 2 orang petugas sebelum memasuki ruang tunggu. Bukan senyum yang dibuat-buat atau senyum seperti orang yang tidak waras yang mencari perhatian, walaupun saat itu dia sendiri. Ketika dia hampir melewatiku, aku pura-pura mengalihkan pandangan ku ke arah lain, bukan karena mendadak menjadi salah tingkah atau diam-diam memiliki antusias ingin berkenalan namun tak punya nyali. Bukan karena itu, ataupun karena alasan-alasan nakal yang lain, tapi karena malam itu aku hanya ingin menikmati dirinya saja dengan mataku.

Aku melipat kedua tanganku, dengan buku masih terselip ditangan kananku, dan aku masih bersandar ditempat yang sama. Tidak sesekali aku menoleh kearahnya, dan berharap dia tidak menyadari kalau sepasang mata ini aku biarkan menjelajah kearahnya, malam ini biarlah mataku yang berperang dan pikiranku memainkan skenarionya sendiri, namun aku tidak ingin bergerak sama sekali. Aku berharap orang-orang disekitarku juga memiliki keinginan yang sama denganku, orang-orang disekitarku yang sejak tadi juga terbelenggu dengan pemadangan disatu titik yang sama. Beberapa kelompok yang hanya berjarak beberapa langkah dariku, tampak dengan nyata memperbincangkan dirinya, mungkin prasangkaku tidak benar dengan apa yang mereka perbincangan dengan penuh kehati-hatian, tapi mudah-mudahan pikiranku tidak salah. Hanya untuk saat itu, tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk memiliki kekuatan gaib untuk bisa membaca pikiran orang lain dan kemudian bergerilya mencari sekutuku. Bodohnya aku mencoba dan waktukupun terbuang sia-sia untuk beberapa detik. Aku pembaca lembaran komik, bukan pembaca pikiran.

Kereta itu akhirnya tiba, 15menit lebih telat dari dugaan keterlambatanku semula, ketika aku mengantri masuk, mataku masih melirik kearahnya, kami terpisah 1 gerbong, aku di gerbong ke dua, dan dia digerbong ketiga. Dan ketika aku sudah didalam, aku masih mencoba dengan penasaran, mencari celah keberadaan dia di gerbong tersebut, tapi tak kudapatkan dia, entah kemana dasi kupu-kupu merah itu membawanya, mungkin dia bergerak ke gerbong berikutnya, begitu cepat dia menghilang, tapi yang jelas dia tak mungkin keluar. Aku terdiam sejenak, penasaran, dan kembali menengadahkan kepalaku, dan kemudian menunduk, menggeser kepalaku kekanan dan kekiri, segala cara kucoba hingga memudahkan mata ini untuk mendapatkan sasaran yang kuinginkan. Tapi tetap mata ini tak mendapati dia. Akhirnya aku hanya berdiri dengan pandangan kosong, sambil memegangi 2 handle gerbong.

Aku terpaksa harus menyudahi ceritaku malam ini, pada saat aku sudah nikmat terjebak didalam gerbong, aku mengambil kembali kendaliku atas mata dan otakku. Walaupun beberapa saat sebelum itu, masih ada pertanyaan yang menduri diotakku, suatu pertanyaan yang tidak penting untuk aku pikirkan. Aku sama sekali tidak mampu mencerna cerita komik yang terbuka lebar pada saat aku memperhatikan mimik wajahnya, senyuman yang tulus namun penuh gejolak? atau hanya sekedar kalalaian yang memerlukan pengungkapan yang tulus? Untuk dia, seperti yang tadi aku ungkapkan, aku terjebak didalamnya, seperti menikmati pusaran air hangat dan tidak menyadari bahwa aku akan terhisap didalamnya dan tidak bisa menemui jalan keluar, dan rasanya tergoda ingin mengerti pikirannya sampai akhirnya aku sadar bahwa aku tidak ingin terjebak lebih dalam lagi dan menjadi bulan-bulanan cerita yang tidak pasti ujung pangkalnya. Dan entah apa yang orang-orang lain pikirkan pada saat itu, karena merekapun hanya terdiam namun tetap sesekali dengan hati-hati memperbincangkan dirinya. Aku tidak bisa membaca pikiran mereka, aku sudah mencobanya, namun berakhir dengan kebodohan dan kesia-siaan. Hanya lembaran komik mereka yang terbuka yang bisa aku nikmati, yang mungkin tersusun sesuai keinginanku.

Kereta itu telah menutup pintunya, dan kemudian berjalan menyusuri rel yang sudah pasti, berjalan, dan kemudian dia berlari, fokus ke satu titik yang menjadi tujuannya. Dan aku akan menunggu 20 menit sampai pintu itu terbuka kembali untukku, untuk kemudian menggiringku keluar. Aku memasrahkan diriku untuk dibawa olehnya ke akhir tujuanku, dan dia akan kembali fokus untuk mencapai tujuannya sendiri setelah itu. Aku mempercayainya tanpa syarat, seolah-olah diperintahkannya diriku untuk hanya menikmati perjalanan, untuk tidak mengkhawatirkan apapun karena dia akan membawaku pulang sesuai dengan janjinya pada saat aku memutuskan untuk masuk kedalam genggamannya. Tidak ada lagi perempuan dasi kupu-kupu merah lebar diotakku, yang ada hanya sepiring nasi dan gulai ayam kampung yang tersedia dirumah. Satu batang rokok dan segelas kopi hitam panas setelahnya, sebelum akhirnya aku terkapar 30 menit kemudian.

Entah kisah apa yang akan terjadi esoknya, tapi malam ini… seperti halnya malam-malam sebelumnya, aku tidak ingin memikirkan apa-apa, aku hanya ingin tidur, terbangun esok hari dan kembali melempar sepasang dadu untuk perjalananku berikutnya.

Andy Krisbianto

2 comments:

Bung Iwan said...

hihihi... ketemu juga blog kamu.
ceritanya bikin aku menggigil. mungkin krn settingnya malem ya?

Andy Krisbianto said...

hahahaha...apa iya medeni to kang?