Cari dengan google

Friday, October 16, 2009

ADIOS, CICI…


Siang itu aku berdiri memandang keluar melalui jendela kamarku, tidak apa pemandangan yang menarik siang itu yang bisa kulihat, dan kalaupun ada…rasanya aku tak akan memperdulikannya, karena walaupun mataku mengarah kesana, tapi pikiran dan telingaku tak lepas dari Cici, kelinci penjagaku yang sudah 1 bulan ini ternyata menjagaiku. Dia duduk tegak diatas ranjangku siang itu, dan sudah lebih dari 1 jam kami saling adu argumen mengenai kepergiannya yang tinggal beberapa menit lagi, dan sudah pasti aku tidak terima dengan keputusannya. Memang aneh, dan aku baru menyadari apa yang dia kerjakan selama sebulan ini dikamarku setelah 3 hari yang lalu.. untuk pertama kalinya aku bisa mendengar dia bicara.. bicara dalam bahasaku. Sempat berpikir bahwa aku gila, atau mungkin aku sedang stress, depresi atau apalah..tapi apa yang kualami ternyata memang nyata.

“Aku harus pergi my Prince…! Sudah waktunya..”, ujarnya dengan tegas.
“Aku punya nama..tak perlu kau panggil aku dengan gelar itu!”, jawabku dengan agak kesal.
“Aku tak perduli siapa namamu…kelinci tidak mengenali nama, kami memanggil kalian humani dengan gelar”
“Terserah kaulah…toh kau akan pergi juga..”, jawabku dengan kecewa.
Cici meloncat dari ranjangku, kemudian meloncat perlahan, bergerak menuju tempatku berdiri memandang kearah luar melalui jendela, kemudian dia melipat kedua kaki belakangnya, menempel ke lantai, dan meluruskan kedua kaki depannya, sisi kanan tubuh mungilnya yang terasa lembut itu menempel tepat dimata kakiku sebelah kiri. “..hmmm… akan ada masanya my Prince, manakala kami sudah selesai dengan tugas kami untuk menjaga para humani, maka kami akan mati..”.
“Mati bukan dalam artian manusia..ini berbeda”, jelasnya lebih lanjut.
“Caca yang menurutmu mati… sebenarnya dia hanya pulang..tubuhnya memang terkubur..tapi rohnya sudah berada ditubuh yang baru…Ratu yang memberinya”, ujarnya, kemudian dia terdiam sejenak. Dan aku samasekali tidak menggubris perkataannya. “…ceritanya bisa panjang my Prince..kurasa tak ada gunanya juga bagimu untuk mengerti..”, ujarnya lagi, kemudian dia kembali bergerak ke arah ranjangku, meloncatinya dengan mudah untuk berada diatasnya, dan kembali duduk tegak disana.
Aku menoleh kearahnya. “Kau samasekali tidak sedih ci’? Kau akan pergi begitu saja..??”, tanyaku, dengan mimik yang masih sedikit kecewa. Aku sungguh berharap dia akan sedih, tapi memang dari sejak tadi, hanya wajah datar yang kulihat, tidak sedih, tidak juga bahagia.
“Tidak…untuk apa? Ini sudah tugas kami…dan kami bangga terpilih untuk menjagamu, dan 1 bulan perjuangan kami membuahkan hasil bukan? Kau aman…”, ujarnya. “Dengarkan aku sekarang my Prince…waktuku semakin sempit..aku tidak bisa menjelaskan lebih banyak…”. “Kalau kau berpikir bahwa kami tidak akan mengawasimu…maka buang jauh-jauh pikiranmu, dan kalau kau berpikir bahwa kami terpisah sangat-sangat jauh darimu…pikiran itupun jangan kau simpan”, tegasnya.
Aku tidak menjawabnya, mungkin aku benar-benar gila, dan semakin gila. Yang bisa kulakukan hanya diam.
“Kemarilah…”
Aku menoleh lagi kearahnya. “Ayo… kemarilah, aku minta kau mendekat..”, perintahnya.
Aku memutar arah kemudian duduk dilantai menghadap dia. “Ulurkan tanganmu my Prince”, perintahnya lagi.
“Ada apa lagi ini…”, gumamku.
“Ulurkan saja tanganmu…”, perintahnya lagi dengan tegas.
Aku mengulurkan kedua tanganku, telapak tanganku menghadap kebawah, dengan posisi tanganku diatas ranjang. Kemudian masing-masing tangan Cici bagian depan yang mungil itu menyentuh bagian atas kedua tanganku, kedua tangannya tepat berada diatas tanganku, sebelah kiri tanganku dengan sebelah kiri tangannya, dan posisi yang sama untuk sebelah kanan. Tak berapa lama kemudian, kedua telinga Cici yang lebar dan berdiri tegak itu mulai bercahaya, mulai dari redup berwarna kehijauan, hingga akhirnya menyala dengan terangnya, dengan warna biru laut, persis seperti warna langit siang ini. Aku terkagum dan kaget melihat pemandangan ini. Aku tak pernah bermimpi bahwa akan bertemu langsung dengan kelinci “aneh” macam dia. Akhirnya cahaya itu pun lama-lama menghilang, hanya sekitar 2 menit saja aku melihat pemandangan cahaya di bagian kedua telinganya yang panjang dan putih tertutup bulu-bulu halusnya. Dan setelah cahaya itu menghilang, Cici mengangkat kedua tangannya dari tanganku.
“Lihat kedua tanganmu…”, perintahnya dengan lembut.
Aku memandang kedua tanganku. Awalnya aku samasekali tidak melihat apa-apa ditanganku. Aku bingung, dan kemudian mengangkat kepalaku untuk memandang wajahnya, wajah bingungku dijawabnya.
“Jangan memandangku… pandangi kedua tanganmu my Prince…!”, ujarnya tegas.
Aku kembali melihat kedua tanganku, dan kali ini… aku benar-benar ternganga, tepat dikedua tanganku bagian atas, tepat dibagian tengah, ada dua lingkaran kecil menyala dimasing-masing tanganku, namun tidak dibagian kulit luar, lingkaran cahaya itu berada didalam, seperti berada didalam daging tanganku, namun cahaya itu masih terlihat jelas, tidak menyala dengan stabil, terkadang redup, terkadang sangat-sangat terang, dan warnanya biru, sama persis dengan warna kedua telinganya yang barusan aku lihat. Aku masih ternganga dan bingung.
“Apa ini artinya Ci’…?”, tanyaku dengan mimik wajahku yang bingung dan masih tertunduk memandangi kedua tanganku.
“Aku dan caca..”, jawabnya.
“Maksudmu…??”, aku menebak-nebak arah jawaban Cici, dan sepertinya aku mengerti.
“Iya… aku dan Caca, ada ditanganmu..yang kaulihat itu adalah aura kami berdua”, jelasnya lebih lanjut.
Aku mengangkat kedua tanganku dengan masih penuh keheranan, dan kemudian satu persatu aku dekatkan tanganku ke kedua lubang hidungku, aku berpikir bahwa mungkin akan tercium aroma tertentu, aroma kayu cendana atau jasmine mungkin, tapi tidak, samasekali tidak tercium aroma apapun disitu.
Cici tersenyum melihat apa yang kulakukan.
“Kau aman… “, jawabnya dengan hangat. Dia terdiam sejenak setelah itu dan kemudian mempertegas pandangannya kearahku. “My Prince… sekarang saatnya…!”
Cici tetap dengan tegas memandangku, dan kemudian mulai berdiri perlahan, tegak dengan satu kaki kiri belakangnya, dan kaki sebelah kanan dilipatnya dengan telapaknya menempel pada sisi kaki kiri bagian atas, masih diatas ranjangku, kedua tangan bagian depan yang mungil perlahan diangkat keatas mendekati kedua telinganya yang panjang dan tegak berdiri. Mirip seperti posisi tree pose yang aku pelajari di kelas Yoga. Kedua matanya terpejam. Aku heran, dia berdiri dengan satu kaki diatas ranjang empukku, tapi keseimbangannya tetap terjaga dan tak bergeming sedikitpun.
“Aku dan Caca hanya berjarah beberapa cahaya saja darimu my Prince”, ujarnya dengan sangat lembut sambil tetap memejamkan kedua matanya dan masih dengan posisi yang sama. “Tidak akan pernah jauh..! Tugas itu akan selalu ada, bangsaku akan tetap mengawasimu, terlebih aku dan Caca…”.
Tak berapa lama, tiba-tiba tubuhnya menyala dengan terang benderang, dan dari tubuhnya, keluar cahaya-cahaya yang saling berpendaran dengan berbagai warna, makin lama makin kuat, semakin berwarna dan makin meluas dan hampir mengenaiku bahkan. Serta merta aku terkejut, sedikit menghindar dan mengambil gerakan mundur, sedikit menjauh darinya. Yang jelas perasaanku benar-benar campur aduk, antara terkejut, kagum dan penasaran. Tak lama kemudian, kulihat perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi titik-titik embun, bercampur dengan kumpulan asap putih yang tidak terlalu tebal, tubuhnya berubah mulai dari bagian kakinya, kemudian bergerak perlahan ke bagian atas tubuhnya, ke perut, dada dan kemudian leher. Dan sebelum bagian kepalanya berubah, aku sempat melihat dia membuka matanya, dan dia mengedipkan mata sebelah kanannya kearahku dan tersenyum, memperlihatkan dua gigi depannya yang putih dan mungil, dan setelah itu tak berapa lama kemudian, akhirnya titik-titik embun yang terkumpul itu, membungkus bagian kepalanya dengan cepat, dan kemudian ke kedua telinganya, hingga kemudian ke kedua tangannya yang sejak tadi memang terangkat. Tak ada lagi bagian tubuhnya yang tersisa, hanya titik-titik embun bercampur dengan asap putih yang terlihat.
Titik-titik embun bercampur asap putih itu sempat memenuhi sepertiga kamarku untuk beberapa saat, dan kemudian hilang samasekali, seperti tersedot di satu pusat, satu titik yang menjadi pusat perpindahan dunia, seperti halnya yang kulihat dibanyak film-film yang telah aku tonton.
Aku memandangi kamarku kesegala arah tak berapa lama setelah itu, kesegala sudut yang ada, hingga ke kamar mandi. Cici sudah benar-benar pergi pikirku. Namun ini akhir yang tidak menyedihkan bagiku. Kembali ku lihat kedua tanganku. Cahaya itu sedikit meredup, namun tetap ada disana. Aku bergerak kearah jendela kamarku, dan kemudian aku bergerak melangkah ke pintu, aku membukanya lebar-lebar dan kemudian keluar menuju balkon didepan pintu kamarku. Aku memandang sekelilingku sejenak, dan kemudian tertunduk..mengarahkan pandanganku kebawah.
Petualanganku yang aneh dengan mereka sudah selesai, setidaknya untuk saat ini. Mereka sudah pulang…kembali ke peradabannya yang semula, rumah mereka, dunia mereka. Ada satu pertanyaan yang masih tersisa diotakku, saat terakhir Cici mengatakan “hanya berjarak beberapa cahaya”. Saat dia mengatakan itu aku tidak terlalu konsentrasi untuk menyimaknya, tapi kali ini justru aku terganggu dengan perkataanya itu. Aku kembali memandangi kedua tanganku… memandangi kedua lingkaran yang redup yang ada disana, dan berharap akan menemukan jawabannya disana, kelak.. entah kapan.

Me@MyRoom, 27 September 2009, 01:30am
Andy Krisbianto
(Published on FB; Monday, September 28, 2009 at 1:09pm)

No comments: